Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Angan-angan Jakarta Fund di Tengah Impian Jadi Kota Global

Jakarta Collaborative Fund atau Jakarta Fund diklaim akan menjadi modal transformasi Jakarta sebagai kota Global.
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo saat dijumpai di Taman Langsat, Jakarta Selatan, Jumat (11/4/2025). ANTARA/Lifia Mawaddah Putri.
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo saat dijumpai di Taman Langsat, Jakarta Selatan, Jumat (11/4/2025). ANTARA/Lifia Mawaddah Putri.

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta sedang merancang pembentukan Jakarta Collaborative Fund (JFC) sebagai salah satu modal bertransformasi menuju kota global.

Gubernur Jakarta Pramono Anung menuturkan bahwa konsep Jakarta Collborative Fund sedang disiapkan untuk mengoptimalkan pendapatan daerah. Kalau itu terwujud, nantinya Jakarta tidak bergantung pada pajak, retribusi, maupun dividen.

"[Jakarta Collaborative Fund] itu menjadi hal yang salah satu prioritas saya agar pendapatan Pemerintah Jakarta tidak hanya bergantung pada pajak, restribusi maupun dividen," jelas Pramono di SMK Miftahul Falah, Jakarta Selatan, Selasa (3/6/2025).

Pramono mengklaim bahwa program ini dirancang sebagai fondasi awal untuk mempersiapkan Jakarta sebagai kota global. Apalagi, Jakarta segera menanggalkan statusnya sebagai ibu kota negara, pasca implementasi UU No2/2004 tentang daerah khusus Jakarta.

Saat ini Jakarta adalah pemilik Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terbesar di Indonesia. Nilainya mencapai Rp91,34 triliun. Di tingkat pusat, nilai APBD Jakarta hanya bisa disaingi oleh Kementerian Pertahanan dan Kepolisian. 

Dalam catatan Bisnis, Jakarta memiliki tiga sumber pendapatan utama. Pertama, adalah pendapatan asli daerah alias PAD senilai Rp54,18 triliun. Sumbangan terbesar bagi PAD berasal dari pajak daerah senilai Rp48 triliun, retribusi daerah senilai Rp1,44 triliun, pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan senilai Rp774 miliar, dan lain-lain PAD yang sah senilai Rp3,96 triliun.

Kedua, dana transfer dari pemerintah pusat senilai Rp26,13 triliun. Ketiga, adalah lain-lain pendapatan daerah yang sah senilai Rp1,4 triliun. Total pendapatan Jakarta dari ketiga komponen penerimiaan itu mencapai Rp81,73 trilium. Selain dari PAD, ada juga penerimaan dari pembiayaan senilai Rp9,61 triliun yang bersumber dari sis lebih penggunaan anggaran alias Silpa senilai Rp5,07 triliun dan penerimaan pinjaman daerah senilai Rp4,53 triliun. 

Kawasan Sudirman
Kawasan Sudirman

Sementara itu, Staf Khusus Gubernur Jakarta, Yustinus Prastowo, mengatakan saat ini JCF masih berada pada tahap perencanaan dan konseptualisasi awal dengan fokus pada institutional setup.  

Tim Pemprov Jakarta khususnya Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) sedang menyusun kerangka kerja hukum dan kelembagaan yang kuat.  

“Termasuk penjajakan bentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) khusus,” tutur Prastowo kepada Bisnis, dikutip Senin (16/6/2025). 

Di saat yang sama, komunikasi awal telah dijalin dengan sejumlah pemangku kepentingan baik di dalam maupun luar negeri. Di tingkat nasional, diskusi melibatkan Bappenas dan Kementerian Keuangan. Sementara di tingkat global, komunikasi telah dilakukan dengan UNDP, U20, Asian Development Bank (ADB), serta lembaga keuangan internasional lainnya.

“Kami juga terbuka berdialog dengan sovereign wealth funds, philanthropic capital, dan investor sektor privat yang memiliki visi jangka panjang untuk Jakarta,” jelas Prastowo. 

Fokus pada Proyek Multiplier Effect

JCF dirancang untuk mendanai proyek-proyek yang memberikan multiplier effect tinggi, dengan harapan dapat meningkatkan daya saing Jakarta di ranah global. Pendekatan kurasi proyek dilakukan dengan prinsip impact investing dan memperhatikan aspek Environmental, Social, and Governance (ESG).

Beberapa bidang prioritas yang diidentifikasi antara lain:

  • Modernisasi Transportasi Umum: Pengembangan dan perluasan jaringan MRT dan LRT, serta integrasi transportasi publik lainnya.

  • Infrastruktur Kota Cerdas: Pembangunan infrastruktur digital, sensorik, dan platform data untuk layanan publik yang lebih efisien. 

  • Solusi Perkotaan Berkelanjutan: Proyek mitigasi banjir, pengelolaan limbah, pengembangan energi hijau, dan peningkatan ruang terbuka hijau. 

  • Pengembangan Pusat Ekonomi: Kawasan inovasi dan kewirausahaan, serta revitalisasi kawasan kota.

  • Peningkatan Kualitas Hidup: Proyek perumahan terjangkau, penyediaan air bersih dan sanitasi, serta peningkatan fasilitas publik. 

  • Kemitraan Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) Prioritas

Sumber Dana dan Keterlibatan Investor

Pemprov Jakarta merencanakan pendanaan awal JCF sebesar Rp3 triliun yang bersumber dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA). 

Namun pemerintah membuka peluang pendanaan dari berbagai sumber, termasuk Dana Abadi Daerah, Hibah, Obligasi Daerah (municipal bond), Pemanfaatan ruang (Koefisien Lantai Bangunan/KLB, Koefisien Dasar Bangunan/KDB), Kontribusi dari kemitraan publik-swasta, Dukungan pemerintah pusat, Mekanisme pendanaan internasional, Dana Corporate Social Responsibility (CSR) korporasi, dan Dana filantropi

Meski demikian, Prastowo menegaskan bahwa komposisi dana awal akan ditentukan setelah struktur tata kelola dan operasional JCF diselesaikan. JCF sendiri dirancang inklusif dan terbuka bagi berbagai investor baik domestik dan global. 

Investor yang bisa bergabung adalah sebagai berikut:

  • Lembaga keuangan domestik dan internasional (bank, dana pensiun, perusahaan asuransi, dana kekayaan negara/SWF), 

  • Korporasi swasta dan konglomerasi lokal yang memiliki keahlian di bidang infrastruktur perkotaan dan teknologi, 

  • Lembaga investasi dan venture capital, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Daerah (BUMD), 

  • Lembaga pembangunan internasional dan organisasi non-profit dengan agenda pembangunan berkelanjutan

Di sisi lain, Prastowo menekankan bahwa enawarkan dua nilai jual utama: visi dan mekanisme. Pertama, adalah visi Jakarta sebagai kota global, dengan potensi pasar yang besar serta proyeksi pertumbuhan yang kuat.

“Investor JCF akan mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam proyek-proyek berdampak tinggi dengan potensi imbal hasil ekonomi dan sosial yang signifikan. Ini adalah peluang untuk menjadi bagian dari masa depan Jakarta yang ambisius,” tutur Prastowo. 

Kedua, adalah mekanisme De-risking, dimana JCF disebut dirancang sebagai mekanisme untuk mengurangi risiko bagi investor. Pihaknya akan mempertimbangkan risk-sharing mechanism seperti availability payment dan konsesi fiskal, serta insentif seperti keringanan pajak, kemudahan penggunaan lahan, dan akses prioritas ke proyek strategis. 

Target Terbentuk dan Tantangan

Meskipun JCF masih dalam tahap perencanaan, pihaknya menargetkan penyelesaian kerangka hukum dan operasional dalam 12 hingga 18 bulan ke depan. 

“Dengan demikian, pembentukan resmi dan kesiapan operasional kelembagaan ditargetkan pada akhir tahun 2025, agar implementasi awal proyek dapat dimulai pada tahun anggaran 2026,” tuturnya. 

Menurut Prastowo, masa transisi tersebut akan dimanfaatkan untuk konsultasi menyeluruh, studi kelayakan, dan perancangan model pendanaan berkelanjutan.

Pramono Anung dan Rano Karno
Pramono Anung dan Rano Karno

Prastowo juga menyoroti sejumlah tantangan yang dihadapi dalam pembentukan JCF. Tantangan pertama berkaitan dengan pembangunan kerangka tata kelola yang transparan, akuntabel, dan profesional agar mampu menjaga kepercayaan publik maupun investor. Tantangan berikutnya adalah menarik investasi yang selaras dengan visi JCF tanpa mengorbankan kepentingan publik.

Selain itu, proses penyelarasan kepentingan antar pemangku kepentingan, baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun sektor swasta juga menjadi hal yang tak sederhana. Kompleksitas regulasi juga menjadi perhatian tersendiri, khususnya dalam koordinasi antara kebijakan daerah dan nasional. 

Di sisi lain, penyusunan pipeline proyek yang layak secara finansial (bankable), namun tetap inklusif dan memberikan dampak merata di tengah keragaman sosial-ekonomi Jakarta, menjadi tantangan tersendiri.

Terakhir, adalah tantangan perubahan paradigma dari government as executor menjadi government as enabler.

“Kami mengatasi tantangan ini melalui konsultasi menyeluruh dengan pemangku kepentingan, adopsi praktik terbaik internasional, dan pendekatan bertahap yang cermat,” jelas Prastowo. 

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper