Bisnis.com, JAKARTA - Air merupakan salah satu syarat bagi berlangsungnya kehidupan yang seharusnya dapat diakses oleh semua orang. Namun selama ini, masyarakat di beberapa wilayah DKI Jakarta masih mengeluhkan masalah pelayanan dan ketersediaan air.
Mereka dihadapkan dengan masalah seperti air berbau, berwarna, air yang tidak mengalir selama 24 jam, hingga masalah privatisasi dan komersialisasi air yang menyebabkan warga harus membayar mahal.
Seperti yang dirasakan oleh Kokom, warga Kampung Kembang Lestari, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Dia menghadapi masalah ketersediaan air sejak 2003. Dirinya mesti membayar mahal untuk mengakses air yang disediakan oleh perusahaan penyedia air di wilayahnya, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja).
“Kata warga kalau mau mengakses air harus daftar ke master meter. Dengan biaya pertama daftar 1 juta 500 ribu rupiah per KK. Setiap KK kalau mau dapat air, per kubiknya 12 ribu rupiah. Belum uang administrasi, uang denda. Saat itu dendanya Rp5 ribu. Kalau telat satu hari, naik lagi menjadi Rp7 ribu,” ujarnya saat dihubungi pada Jumat (17/9/2021).
Kokom keberatan dengan besaran tagihan air yang harus dibayarkan. Menurut pengakuannya, dia menggunakan layanan master meter dengan tagihan Rp450 ribu perbulan.
“Kebetulan di wilayah kami ini kebanyakan menengah ke bawah, ada yang buruh pelabuhan, buruh cuci-gosok, pemulung juga. Bagi saya pribadi, sangat berat untuk pembayaran air segitu besarnya. Harapan saya, jangan dibeda-bedakan (akses air). Kami yang gak punya, harus mendapatkan hak air untuk warga,” ujarnya.
Selaras dengan Kokom, harga mahal untuk akses air dari master meter juga dirasakan oleh Titin, salah satu warga Muara Baru, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara yang memakai master meter sejak 2005.
Dia kecewa dengan kondisi penyediaan air di wilayahnya. Sebab, untuk mendapatkan air yang lebih murah, dibutuhkan bukti kepemilikan tanah, seperti akta jual beli (AJB) dan sertifikat.
“Kami ingin memasang air di Palyja, PAM Jaya, dan Aetra. Tapi Persyaratannya AJB, sertifikat, PBB. Kami tidak punya AJB atau PBB. Mau gak mau, karena ini kebutuhan. Kami butuh, sehingga kami terpaksa memakai master meter yang harganya cukup mahal, yang berat bagi kami sebagai ibu rumah tangga,” ungkap Titin.