Bisnis.com, JAKARTA - Mengatasi masalah banjir di Jabodetabek, butuh kerendahan hati, baik dari pemerintah pusat maupun daerah untuk menekan ego sektoral masing-masing.
Evaluasi dari beberapa pemerintah daerah yang terdampak banjir perlahan-lahan diungkap. Harapannya, tumpang-tindih kewenangan yang selama ini jadi masalah utama, bisa terpecahkan.
Bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, salah satu hambatan pencegahan banjir, yakni penanganan 13 sungai besar yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Tepatnya, Sungai Ciliwung, Cipinang, Sunter, Pesanggrahan, Angke, Grogol, Jati Kramat, Krukut, Kali Baru Barat, Kali Baru Timur, Cakung, Buaran, Mookervaart, dan Sekretaris, masih di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Kepala Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta Juaini Yusuf menyebut hal ini coba dipecahkan lewat MoU bersama pemerintah pusat.
"Ya, paling tidak, kita jadi bisa koordinasi terkait dengan masalah penanggulangan banjir, kolaborasi, ada kerjasama, lah," jelasnya ketika ditemui di DPRD DKI Jakarta, Rabu (4/3/2020).
"Mungkin yang selama ini kita tidak bisa masuk [menangani], mungkin nanti mereka yang kerjain apa bagaimana, yang jelas lagi dibicarakan kerja samanya," tambahnya.
Harapannya, dengan adanya MoU ini, koordinasi menjadi lebih matang, penanggulangan banjir pun tak kendor lagi tanpa dalih keterbatasan wewenang.
"Ya, nanti kita lihat saja apa maunya. Kita disuruh ngapain di kesepakatan itu. Nah, sekarang kalo memang belom kan kita juga tidak bisa bergerak, menunggu kesepakatan itu disahkan," ungkap Juaini.
Curhat Bupati dan Wali Kota Daerah Penyangga
Para bupati dan wali kota daerah penyangga DKI Jakarta sebelumnya sempat mencurahkan hati, mengungkap cerita tersendiri di balik bencana banjir di Jahodetabek.
Mulai dari cerita bingung bagaimana cara efektif berkoordinasi antarlembaga, hingga tak terima dijadikan 'kambing hitam' penyebab banjir di kawasan Ibu Kota.
Wali Kota Tangerang Arief Rachadiono Wismansyah menekankan bahwa kendala utama pemerintah kota dan kabupaten memang keterbatasan kewenangan dalam pencegahan banjir.
Terutama, penanganan pemeliharaan sungai atau situ/waduk/embung/danau yang menjadi kewenangan pusat atau provinsi. Arief berharap agar penanganan situ dan waduk ke depan diserahkan ke Pemkot saja.
"Situ dan waduk itu aset provinsi dan pemerintah pusat, penanganannya juga oleh mereka. Oleh karena dampak minimnya pengelolaan oleh provinsi dan pusat, makanya kita minta kota juga diberikan kewenangan untuk pemeliharaan dan pembangunan," jelasnya kepada Bisnis, Rabu (4/2/2020).
Arief menyayangkan apabila di masa depan kewenangan banjir bagi pemkot dan pemkab masih hanya sebatas evakuasi warga pascabencana.
"Saya pernah mengajukan untuk melakukan pengerukan Sungai Cisadane sepanjang 12 km. Diizinkan, tetapi ketika kami ingin nermitra dengan swasta terjadi kendala, kenapa? Karena lumpur-lumpur di sana saja dianggap aset negara," ujar Arief.
"Jadi ketika dibuang harus tahu ke mana, dihitung volumenya, karena kalau ada yang melaporkan nanti dianggap merugikan negara. Daerah kami juga memiliki kepadatan tinggi, tapi membuang lumpur bingung, tidak dibuang sudah sedimentasi," tambahnya.
Sementara itu, terkait koordinasi antarlembaga yang masih belum optimal, Arief mengungkap pengalamannya ketika banjir melanda Jabodetabek pada awal 2020.
Proyek Trash Rike atau penyaring sampah milik DKI Jakarta di perbatasan, justru membuat kotanya kebanjiran akibat air dari Kota Tangerang tidak bisa ke sungai Mookervaart secara maksimal.
Yang jadi masalah, Arief mengaku jajarannya tak pernah diberi tahu bahwa trash rike ternyata bukan lagi wewenang Dinas Sumber Daya Air, tapi Dinas Kebersihan sehingga
"Akhirnya saya suruh cari [jajaran Dinas Kebersihan DKI] atau terpaksa kita bongkar karena air jadi terhambat. Jadi memang koordinasi Kota Tangerang dan Jakarta memiliki kendala, sehingga kita meminta dukungan pak Gubernur karena kita juga ingin berperan mengatasi banjir di hilir," ujarnya.
Senada dengan Arief, curhatan Bupati dan Wali Kota lain terungkap dalam focus group dicussion (FGD) yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Senin (2/2/2020).
Mempertemukan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dengan para kepala daerah di Provinsi Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Turut hadir Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, mantan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi, serta para ahli dan pihak terkait penanganan banjir seperti TNI.
Bupati Bogor Ade Munawaroh Yasin sempat 'curhat' dan mengungkap perspektif menarik lain bahwa banjir yang terjadi di Jabodetabek sebenarnya bukan hanya banjir air, tapi ada pula banjir manusia, dan banjir sampah.
Pasalnya, Kabupaten Bogor selama ini hanya dianggap sebagai akar permasalahan utama banjir di DKI Jakarta. Padahal, isu-isu sosial di hulu pun tak kalah mendesak.
"Memang betul kami ini ada di tempat paling tinggi, jadi pemerintah pusat mau membangun 5 waduk, Sukamahi, Ciawi, Cibeet, Cijuray, dan Narogong. Tapi kalau dilihat begini, berapa luas Kabupaten Bogor yang hanya untuk waduk?" ungkapnya.
Wanita yang aktif sebagai pengurus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini pun mencontohkan beberapa waduk memiliki kendala akibat proyek-proyek tersebut akan berdiri di lahan persawahan.
"Padahal kami sudah punya program dari hasil sawah ini kita beli, kita produksi, dan kita jual untuk masyarakat Kabupaten Bogor langsung dari petani kita. Sawah-sawah nomor satu kami akan hilang akibat akan kepentingan menjadi waduk-waduk tersebut," ungkapnya.
"Mengganti sawah warga ini bagaimana? Karena lahan-lahan ini yang menjadi penghidupan mereka. Ya, memang waduk ini penting untuk pencegahan [banjir Jakarta], tapi jangan selalu berpikir di hilir, kami di hulu juga butuh dipikirkan. Semacam inilah persoalan kami di hulu," tambah Ade.
Sementara itu, beberapa kepala daerah yang hadir seperti Wali Kota Bogor Bima Arya dan Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany berharap adanya insentif dari pemerintah pusat maupun Pemprov DKI Jakarta untuk proyek-proyek penanganan aliran air hujan yang lari ke Jakarta.
Menanggapi hal ini, Ketua DPRD DKI Jakarta sekaligus Kepala Badan Anggaran DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi menjamin bahwa dana hibah ke daerah-daerah penangga akan terus ditingkatkan.
"Kalau saya sih, pasti mengiyakan [anggaran hibah] karena komitmen kita untuk daerah penyangga penting sekali, untuk menanggulangi permasalahan banjir di Jakarta," jelasnya.
Namun demikian, penanggulangan banjir juga membutuhkan komitmen pihak eksekutif. Terkini, pihak legislatif hanya bisa melakukan evaluasi dan membedag masalah lewat banjir Panitia Khusus (Pansus) Banjir oleh DPRD DKI Jakarta.
"Dulu banjir kan tiap lima tahun sekali, sekarang enggak, tiap hujan banjir. Itu masalahnya. Ini yang harus cari solusinya. Jangan salah-salahan lah. Sudahlah, ayo ke depan kita cari solusinya gimana cara bekerja yang baik. Bagaimana dengan APBD yang besar bisa menangani banjir dan dapat menjadi ibu kota yang baik," ungkapnya.
Merumuskan Masalah
Kepala BNPB Doni Monardo menyikapi kondisi banjir Jabodetabek dengan mengajak multipihak berdiskusi untuk mencari solusi permanen penanganan banjir.
“Kita mengharapkan masukan dari tiga provinsi serta para pakar sehingga kita dapat menghasilkan solusi ke depan dalam mengelola ekositem dan mengurangi dampak bencana. Kita perlu menyusun program terintegrasi baik dari hulu, tengah, hingga hilir,” ujar Doni.
Menurut Doni, tak bisa dipungkiri bahwa permasalahan banjir yang dihadapi Jabodetabek memiliki akar yang kompleks, seperti tata guna lahan untuk pertanian, perkebungan, urbanisasi, atau kegiatan merusak hutan secara destruktif, penambangan atau pun penebangan ilegal.
Doni mencontohkan kondisi di bagian hulu yang terjadi alih fungsi lahan, penanaman semusim yang bisa berdampak pada ekosistem di wilayah, serta banyaknya ditemui green house di wilayah Sarongge, puncak Cipanas.
"Oleh karena itu, penyelesaian pada bagian hilir saja tanpa melihat kondisi hulu hanya akan menghabiskan energi yang sangat besar," tambahnya.
Gubernur Ridwan Kamil menyampaikan ada beberapa tantangan yang harus diselesaikan secara bersama, seperti terkait penyelarasan regulasi antar wilayah administrasi yang berbeda terkait penanganan daerah aliran sungai atau rekayasa sipil.
Pria yang akrab disapa Kang Emil ini menyampaikan pihaknya telah berupaya untuk terus mengurangi potensi bahaya banjir dengan berbagai kegiatan.
Misalnya menyiapkan lahan seluas 12.000 hektar yang akan dihutankan pada tahun ini menjadi tangkapan air hujan dan mampu mencegah banjir dan longsor.
Emil akan menggelar gerakan penanaman 50 juta pohon. “Penanaman ini melibatkan masyarakat, mereka yang Bahagia akan menanam pohon. Mereka yang mau menikah, yang naik pangkat, atau mendapatkan IMB wajib menanam pohon,” ungkapnya.
Sementar itu, erosi di bagian hulu daerah aliran sungai (DAS) sangat besar. Total erosi bagian hulu di tiga sungai besar, yaitu Sungai Ciliwung, Cisadane dan Bekasi mencapai 83 ribu hektar.
Di sisi lain, melihat bencana pada awal tahun, area terdampak berada di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Lokasi banjir berdekatan dengan bagian hilir dari delapan daerah aliran sungai (DAS) yaitu Sungai Angke Pesanggrahan, Krukut, Ciliwung, Sunter, Buaran, Cakung, Bekasi dan Cisadane. Banjir saat itu dipicu salah satunya faktor cuaca ekstrem yang terjadi sejak 31 Desember 2019.
Berdasarkan pemaparan perwakilan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (SDA) KemenPUPR, saat ini masih berlangsung pengendalian banjir Jakarta. Pengendalian salah satunya dilakukan di bagian hulu dengan pembangunan bendungan Ciawi dan bendungan Sukamahi di wilayah Kabupaten Bogor.
Bendungan Ciawi akan memiliki daya tampung 6,05 juta meter kubik, sedangkan Sukamahi 1,68 juta meter kubik. Tantangan dalam pengendalian banjir salah satunya terkait pembebasan lahan untuk keperluan sudetan Sungai Ciliwung.
Pada kejadian banjir 25 Februari 2020 lalu, Direktorat Jenderal SDA KemenPUPR mengkaji lokasi banjir Jabodetabek pada 76 titik, dimana 46 titik berada di wilayah DKI Jakarta.
Penyebab banjir waktu itu disebabkan faktor sistem drainase di 30 titik (65 persen) dan sistem sungai 16 titik (35 persen). Hal senada juga dikaji oleh Kementerian LHK yang mencatat penyebab banjir Jakarta, salah satunya sistem drainase yang tidak mampu mengantisipasi kenaikan volume air yang ekstrem.
Satu faktor lain yang terungkap, yakni permasalahan budaya membuang dan mengelola sampah yang buruk. "Hal ini sebetulnya dapat dilakukan warga secara mandiri dalam pencegahan bahaya banjir di wilayah Jakarta," tutup Doni.
Menekan Ego Sektoral untuk Atasi Banjir di Jakarta dan Daerah Penyangga
Mengatasi masalah banjir di Jabodetabek, butuh kerendahan hati, baik dari pemerintah pusat maupun daerah untuk menekan ego sektoral masing-masing.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Aziz Rahardyan
Editor : Sutarno
Konten Premium