Forum Seniman Peduli TIM jelas-jelas mendorong moratorium. Alasan utamanya, yakni menolak komersialisasi TIM oleh Jakpro dan meminta pihak Pemprov DKI Jakarta duduk bersama mendengarkan aspirasi para seniman.
"Setelah dari Komisi X DPR RI bilang moratorium, kami mutlak moratorium. Harus duduk bersama dulu. Jakpro jangan mengelola, yang kelola BLUD [Badan Layanan Umum Daerah] ada itu di Peraturan Menteri Keuangan," ujar Koordinator SaveTIM sekaligus Jubir FSPTIM Tatan Daniel ketika dikonfirmasi, Kamis (20/2/2020).
Sementara, pihak DKJ lebih menekankan pada moratorium lebih banyak mudaratnya. DKJ lebih menekankan pada aspek pengawalan suara seniman untuk pengelolaan TIM baru.
Plt Sekretaris Jenderal DKJ sekaligus Ketua Komite Film DKJ Hikmat Darmawan menekankan alasannya, bahwa gedung-gedung sudah dibongkar, arsip-arsip seni dalam keadaan darurat, dan komunitas-komunitas seni mempertanyakan kapan TIM bisa kembali digunakan.
"Yang jelas bagi kami, kata horornya menghentikan sementara [moratorium] adalah, sementara itu sampai kapan? Apa konsekuensinya? Ke gudang penyimpanan, kemarin kami 1 Januari terasa banget. Hujan ekstrem menyebabkan banjir, bocor, sebagian arsip kena banjir dan harus mengunakan hair dryer," tegasnya.
Kendati berbeda langkah soal moratorium, DKJ maupun FSPTIM kompak mengkritisi Peraturan Gubernur No 63/2019 tentang Penugasan Kepada PT Jakarta Propertindo Untuk Revitalisasi Pusat Kesenian Jakarta TIM.
Pasalnya, dalam beleid pergub tersebut tercantum bahwa Jakpro berwenang mengelola dan merawat sarana-prasarana TIM selama 28 tahun melalui skema Build Operate Transfer (BOT) sebelum akhirnya pengelolaan aset kembali ke tangan Pemprov DKI.