Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah terobosan sudah dilakukan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) untuk menyelesaikan permasalahan kemacetan di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Kepala Humas BPTJ, Budi Rahardjo mengungkapkan Jakarta tidak mungkin menyelesaikan permasalahan kemacetannya sendiri.
Jakarta hingga saat ini telah menjelma menjadi wilayah teraglomerasi dengan Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek) sebagai daerah penyangganya. Artinya Jakarta dan daerah penyangganya sudah menjadi satu kesatuan secara ekonomi sehingga saling memiliki ketergantungan satu sama lain.
"Dampaknya selalu terjadi mobilitas manusia dan barang yang cukup tinggi antar wilayah di dalamnya. Oleh karena itu mewujudkan sistem transportasi perkotaan yang terintegrasi se-Jabodetabek merupakan jawaban untuk menyelesaikan permasalahan transportasi di Jakarta sekaligus di Bodetabek sebagai wilayah penyangganya," paparnya, Minggu (2/2/2020).
Sejak berdiri pada 2016, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) yang memiliki kewenangan koordinatif, telah melakukan berbagai langkah terobosan bersama pemerintah daerah se-Jabodetabek dan stakeholder lainnya untuk mengurai kemacetan.
Namun demikian, terjadi peningkatan pergerakan manusia yang luar biasa di wilayah Jabodetabek sehingga langkah-langkah terobosan yang dilakukan terasa masih belum memadai untuk memecahkan problem kemacetan secara keseluruhan.
Pergerakan manusia di Jabodetabek pada 2015 baru tercatat 47,5 juta pergerakan/hari, pada tahun 2018 sudah meningkat drastis menjadi lebih kurang 88 juta pergerakan/hari.
Kondisi inilah yang bisa menjawab mengapa indeks TOM-TOM menyebut meski terjadi penurunan peringkat kemacetan kota metropolitan dunia dari 7 menjadi 10 namun dinilai belum ada perubahan signifikan menyangkut kemacetan yang terjadi di Jakarta.
Langkah-langkah terobosan yang dilakukan BPTJ bersama stakeholder terkait misalnya sejak tahun 2018 diimplementasikan kebijakan ganjil genap di pintu tol Bekasi, Tangerang dan Cibubur.
Kebijakan ini dilakukan karena koridor-koridor tersebut merupakan lintas yang dilalui masyarakat komuter yang menggunakan kendaraan pribadi.
Kebijakan ini juga didukung dengan penyediaan angkutan umum bus premium seperti Transjabodetabek Premium, Jabodetabek Residence Connexion (JRC) dan Jabodetabek Airport Connexion (JAC).
Diharapkan secara bertahap para pengguna kendaraan pribadi dapat beralih (shifting) menggunakan angkutan umum massal. Bus-bus ini memang ditujukan pada segmen pengguna kendaraan pribadi sehingga dilengkapi fasilitas premium dengan tarif Rp15.000-Rp20.000.
Hingga saat ini bus premium perkotaan cukup diminati publik. Transjabodetabek Premium di Bekasi misalnya yang dirintis sejak pemberlakuan kebijakan ganjil genap di Pintu Tol memiliki load factor cukup tinggi di atas 50%.
Langkah-langkah terobosan juga dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Menyusul sukses penataan transportasi di Jakarta pada Asian Games, pada Juli 2019 BPTJ merekomendasikan kepada Pemprov DKI untuk memberlakukan kembali kebijakan ganjil genap seperti pada masa Asian Games.
Pemprov DKI menanggapi positif hal tersebut meski tidak sama persis seperti rekomendasi BPTJ, Pemprov DKI memutuskan untuk memperluas pemberlakukan koridor kebijakan ganjil-genap di jalan arteri DKI dari 10 menjadi 25 ruas jalan, namun hanya berlaku pada pagi dan sore hari.
Kebijakan ini juga didukung dengan langkah peningkatan integras angkutan feeder Transjakarta melalui program Jak-lingko sehingga memudahkan masyarakat untuk mengakses angkutan umum massal.
Kebijakan Tarik Ulur
Langkah-langkah mengatasi kemacetan Jakarta akan terus dilakukan secara terpadu dalam lingkup Jabodetabek sebagai wilayah teraglomerasi. Langkah-langkah yang akan dilakukan semua telah diamanatkan dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) sampai dengan tahun 2029.
Langkah-langkah yang dilakukan dapat bersifat push policy yaitu menekan penggunaan kendaraan pribadi baik dengan kebijakan yang bersifat pembatasan penggunaan maupun pembatasan kepemilikan.
Pembatasan penggunaan kendaraan pribadi misalnya seperti penerapan kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) sebagai alternatif pengganti kebijakan ganjil-genap. Pemerintah Daerah juga dapat mendorong pembatasan kepemilikan misalnya dengan pajak maupun persyaratan tertentu untuk memiliki kendaraan pribadi seperti persyaratan memiliki garasi.
Selain itu, pemerintah meningkatkan langkah-langkah yang bersifat pull policy seperti meningkatkan ketersediaan angkutan umum massal baik berbasis jalan maupun rel serta meningkatkan aspek integrasinya baik dari sisi fisik maupun sistem.
Harapannya, dengan langkah-langkah ini akan semakin memudahkan masyarakat menggakses angkutan umum massal di seluruh wilayah Jabodetabek.
Mengingat salah satu Indikator Kinerja Utama (Key Performance Indicator) yang harus dapat dicapai sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) adalah pergerakan orang dengan angkutan umum harus mencapai 60% dari total pergerakan orang.
Penggunaan angkutan umum massal baik berbasis rel ataupun jalan juga perlu diikuti dengan aktifitas berjalan kaki baik first mile maupun last mile (non-motorized transportation) yang pada hakekatnya merupakan salah satu perwujudan konkret dari transportasi massal yang berkelanjutan (ramah lingkungan).
"Untuk itu Pemerintah juga akan terus meningkatkan ketersediaan prasarana untuk pejalan kaki. Mengingat ketersediaan fasilitas pejalan kaki juga menjadi salah satu capaian dalam Indikator Kinerja Utama yang harus dapat dipenuhi sebagaimana tertuang dalam RITJ," ujarnya.
4 Tahun Berdiri, Ini Terobosan BPTJ atasi Kemacetan Jakarta
Sejumlah terobosan sudah dilakukan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) untuk menyelesaikan permasalahan kemacetan di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Rinaldi Mohammad Azka
Editor : Sutarno
Konten Premium