Bisnis.com, JAKARTA -- Pengamat kebijakan publik menilai Peraturan Gubernur DKI Nomor 18 Tahun 2018 dapat membuat iklim bisnis tempat hiburan di Ibu Kota menjadi lesu.
Seperti diketahui, faktor pemicu dari Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 18 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Pariwisata ini ditenggarai oleh dua sebab.
Pertama, perkataan mantan Ketua Badan Narkotika Nasional (BNN), Budi Waseso yang menyebutkan bahwa ada indikasi sebanyak 36 tempat hiburan di Jakarta menjadi lokasi peredaran narkoba.
Kedua, laporan investigasi dari salah satu media nasional yang menyebutkan bahwa salah satu tempat hiburan terkenal di Ibu Kota diduga sebagai tempat prostitusi dan perdagangan manusia.
Lebih lanjut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta pada mulanya hanya akan mengatur tentang pengawasan dan regulasi yang lebih ketat terhadap tempat hiburan. Kendati demikian, Pemprov DKI Jakarta memasukan tiga pasal dalam Pergub Nomor 18 Tahun 2018 yang mengundang polemik.
Ketiga aturan yang tertuang dalam Pergub ini mengatur jenis pelanggaran yang berbeda seperti pada Pasal 54 tentang peredaran narkoba, Pasal 55 tempat prostitusi atau perdagangan manusia, dan Pasal 56 tentang lokasi perjudian.
Baca Juga
Adapun Pergub tersebut secara selintas tidak bermasalah karena bertujuan untuk mengentaskan masalah perjudian, narkoba, dan prostitusi.
Akan tetapi, yang menyimpang, yaitu dalam setiap pasal tersebut memperbolehkan pengaduan masyarakat dan media massa sebagai pertimbangan utama dalam melakukan penindakan.
Selain itu, penindakan yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta hanya berupa pencabutan langsung Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) tanpa ada proses peringatan atau diplomasi sebelumnya.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, mengatakan Pergub Nomor 18 Tahun 2018 ini terbilang semena-mena karena bisa menutup tempat hiburan berdasarkan hanya laporan dari masyarakat dan media massa saja.
Padahal laporan dari media massa dan masyarakat tersebut belum bisa dianggap valid jika tidak diadakan penyelidikan lebih lanjut oleh pihak berwenang seperti BNN, Kepolisian, atau jajaran dari Pemprov DKI.
"Jangan hanya mengandalkan masyarakat dan media massa, Pemprov DKI dan pihak berwenang harus turun tangan untuk menyelidiki dan mencari bukti yang kuat," kata Trubus kepada Bisnis, Minggu (25/3/2018).
Dia menambahkan jika Pergub ini dapat memicu persaingan tidak sehat antara sesama pengusaha tempat hiburan. Selain itu, Pergub ini bisa dipergunakan sebagai alat bagi kepentingan politik beberapa oknum tak bertanggung-jawab.
"Oknum itu bisa saja menunggangi media massa atau masyarakat untuk menjatuhkan salah satu tempat hiburan lawannya," imbuhnya.
Menurutnya, salah satu poin lain yang dianggap diskriminatif yakni unsur penutupan atau pencabutan TGUP secara langsung tanpa proses teguran atau diplomasi sebelumnya. Dengan demikian, pengelola tempat hiburan tidak diberi kesempatan untuk membela diri.
"Ini mencerminkan arogansi kekuasaan dan kesewenang-wenangan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan terhadap pengusaha," ungkapnya.
Trubus menyarankan seharusnya Pemprov DKI membentuk tim khusus melalui Instruksi Gubernur (Ingub) yang bertugas untuk memetakan dan mengumpulkan bukti-bukti atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha tempat pariwisata.
Dia menambahkan peran media massa dan masyarakat harus ditempatkan sebagai referensi saja bukan sebagai hakim yang memutuskan.
Dia menjelaskan dampak penutupan tempat usaha dari sektor pariwisata sangat lah besar, tidak hanya karyawan yang terpaksa menjadi pengangguran, akan tetapi pengusaha juga dirugikan. Dengan demikian, tidak bisa dipungkiri bila iklim investasi tempat hiburan di Jakarta akan terus mengalami penurunan ke depannya.
"Investor yang telah ada di Jakarta akan berbondong-bondong relokasi tempat usaha, sedangkan calon investor akan memilih tempat lain," imbuhnya.