Bisnis.com, JAKARTA - Salah satu hal yang bisa Anda dapatkan di Monas ialah berbagai suvenir dengan bentuk dan motif khas ‘tugu’ kebanggaan Jakarta itu.
Namun, keberadaan mereka dianggap mengganggu oleh Pemda sehingga kerap harus berdagang secara sembunyi-sembunyi.
Menurut Tohir (39), salah satu penjual suvenir di kawasan Monas, Jakarta Pusat, kegiatan usaha yang dilakukannya tidak mengganggu kebersihan dan ketertiban.
Justru pengunjung sering menanyakan, di mana bisa mendapatkan cinderamata khas Monas ataupun Jakarta. “Untuk itulah saya dan teman-teman hadir di sini,” ujarnya, Jumat (12/12/2014).
Tohir berpendapat cara berjualannya tidak akan mengganggu. Apabila pengunjung yang ditawarkan tidak mau, dia tidak akan memaksa.
Sesama penjual suvenir pun sering berdiskusi perihal tata cara berdagang yang luwes dan edukatif. Beberapa dari mereka malah belajar bahasa Inggris untuk memudahkan komunikasi saat menjajakan barang.
“This is pen from bamboo, with traditional Betawi batik motive,” ujar Ahmad (24), salah satu penjual suvenir mencontohkan kebolehannya berbahasa asing, sambil menunjukan sebuah pulpen bambu bermotif batik.
Bagi Ahmad, kemampuan ini sangat bermanfaat baginya saat menjajakan dagangan kepada turis asing. Monas memang menjadi salah satu destinasi favorit wisatawan mancanegara.
Lucunya, Ahmad terkadang dibayar menggunakan mata uang negara lain seperti ringgit, yen, dolar, dan euro. Dia pun mengumpulkan mata uang ini sampai jumlah tertentu, kemudian menukarkannya di money changer.
Selain memiliki kemampuan bahasa Inggris, penjual suvenir pun berusaha belajar mengenai Monas, mulai dari sejarah, luas kawasan, tinggi tugu, dan berbagai informasi lainnya.
Tujuannya agar pelanggan merasa puas dengan pelayanan mereka. Jadi, bukan hanya membeli barang, pembeli dapat pula menggali informasi dari mereka.
Tohir sudah berjualan suvenir selama 10 tahun, sedangkan Ahmad sekitar 6 tahun. Berjualan suvenir memang sudah mencari mata pencaharian sejak lama.
Karena itu, mereka sangat menyayangkan sikap Pemda DKI Jakarta yang menggusur PKL di Monas, dengan alasan agar kawasan ini bersih dan tertib. Padahal, kegiatan usaha mereka tergolong tertib dan tidak menghasilkan sampah.
Kini, ada sekitar 30 pedagang suvenir di Monas. Rata-rata mereka mampu menjual sampai 50 barang per hari.
Walaupun penghasilan mereka hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, Tohir dan Ahmad mengaku siap memberikan pemasukan bagi Pemda DKI Jakarta dengan menyisihkan sebagian keuntungan. Namun, syaratnya Pemda memberikan izin bagi kegiatan usaha mereka.
“Kami rela bayar pajak pada pemerintah, asal boleh berjualan,” ujar Tohir disertai anggukan setuju Ahmad.