Bisnis.com, JAKARTA--Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno angkat bicara terkait latar belakang penjualan saham Aetra kepada Grup Salim melalui anak usahanya, Moya Indonesia Holdings Pte Ltd senilai US$92,87 juta atau setara dengan Rp1,24 triliun.
Dia menegaskan penjualan saham Acuatioco Group Pte Ltd tidak terkait keputusan Mahkamah Agung (MA) yang meminta pemerintah menghentikan swastanisasi air di Jakarta.
"Saya gak terlihat sama sekali [dalam proses akuisisi Acuatico oleh Moya]. Sudah saya buka dari awal bahwa saya tidak ingin ada benturan keinginan," katanya di Balai Kota DKI, Senin (12/2/2018).
Sandi mengatakan saat ini yang terpentimg untuk dilakukan yaitu bagaimana mereformasi permasalahan air di Ibu Kota.
"Kami akan lakukan sesuai keputusan MA. Kemarin saya bertemu dengan walikota Paris untuk membahas soal remunisipalisasi agar menguntungkan semua pihak, termasuk pemerintah dan dunia usaha," imbuhnya.
Berdasarkan laporan keterbukaan Moya Holdings Asia Limited di Singapore Stock Exchange, Moya Indonesia Holdings telah mengakuisisi seluruh saham Acuatico senilai US$92,87 juta atau setara dengan Rp1,24 triliun.
Baca Juga
Direktur Eksekutif Moya Holdings Asia Limited, Simon A. Melhem mengatakan proses jual beli saham tersebut dilakukan pada 8 Juni 2017.
Sementara itu, jika mengacu pada salinan putusan dengan nomor 31 K/Pdt/2017 dikeluarkan dalam rapat musyawarah Majelis Hakim pada Senin, (10/4) oleh Nurul Emiyah, Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis.
Dengan demikian, MA Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No 588/PDT/2015/PT DKI tertanggal 12 Januari 2016 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No 527/PDT.G/2012/PN JKT PST tanggal 24 Maret 2015.
MA mengabulkan gugatan para penggugat sebagian, menyatakan para tergugat lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warga negara, khususnya warga DKI Jakarta.
MA juga menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air Jakarta kepada pihak swasta dalam wujud perjanjian kerja sama (PKS) tertanggal 6 Juni 1997 yang diperbaru dengan PKS tanggal 22 Oktober 2001 yang tetap berlaku hingga saat ini.
Menurut MA para tergugat telah merugikan Pemprov DKI Jakarta dan masyarakat DKI Jakarta.