KECELAKAAN MAUT
Sejak kecelakaan maut yang merenggut 18 korban jiwa pada 6 Desember 2015, petugas terus menertibkan metro mini ‘nakal’. Hingga Rabu (23/12), sebanyak 286 kendaraan ditertibkan. Angka ini terus bertambah seiring giat razia oleh Dishubtrans.
“Pokoknya semua yang tidak sesuai dengan SOP kami ‘sikat’. Itu akan kami lakukan secara terus menerus. Kami tidak ingin ada korban [jiwa] lagi dari masyarakat,” jelas Andri.
Metro mini dapat beroperasi kembali setelah mengikuti sidang pelanggaran. Namun ada syaratnya, yaitu sudah memperbaiki setiap kekurangan. Apabila di kemudian hari metro mini tersebut ditangkap lagi, Andri tak segan menahan kendaraan tersebut selamanya.
Dari catatan Dishubtrans selama 3 tahun terakhir, metro mini menjadi kendaraan yang sering mengalami pencabutan izin trayek. Pada 2013, pemerintah mencabut izin sekitar 2.200 dari total 3.078 trayek yang ada. Akibat langkah tersebut, praktis metro mini yang beroperasi hanya 878 unit.
Pada 2014, angka ini direvisi. Tercatat sebanyak 1.424 metro mini beroperasi. Pada 2015, metro mini yang dicabut t rayeknya menjadi 1.603. “Bagi pelanggaran, kami tidak akan memberikan celah. Pokoknya begitu kami temukan pelanggaran, langsung kami tindak.”
Data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya menunjukkan jumlah korban kecelakaan metro mini pada 2015 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2015, sebanyak 21 orang meninggal akibat kecelakaan yang melibatkan metromini. Angka ini naik 20 kali lipat dibandingkan 2014 yang ‘hanya’ memakan satu korban jiwa.
Selain korban jiwa, kerugian material akibat kelalaian metro mini juga meningkat. Persentase peningkatan mencapai 105%. Dari 257 kasus kecelakaan lalu lintas, seba-nyak 22,5% di antaranya melibatkan metro mini. Persentase ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan angkutan umum lainnya.
Kepala Sub Direktorat Pembinaan dan Penegakan Hukum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Budiyanto memetakan tiga pelanggaran yang paling sering dilakukan sopir metro mini. Pertama, kondisi kendaraan. Kedua, perilaku pengemudi saat di jalan raya. Ketiga, kondisi fisik dan psikis pengemudi saat mengemudi.
Dari tiga faktor tersebut, tuturnya, perilaku sopir saat mengemudi menjadi faktor utama penyebab kecelakaan. Bahkan, faktor perilaku sopir menjadi penyebab utama setengah dari seluruh kecelakaan metro mini.
Kelalaian sopir terlihat dari perilaku yang ugal-ugalan, mengonsumsi alkohol, dan tidak sabar menerobos lalu lintas. Salah satu contohnya kasus kecelakaan fatal metro mini ketika menghantam kereta commuter line pada 6 Desember 2015. Dari olah tempat kejadian perkara, faktor kelalaian pengemudi diduga menjadi penyebab utama kecelakaan yang merenggut 18 nyawa tersebut.
”Kalau pengemudinya mematuhi rambu dan tidak tergesa-gesa, tentu saja angka kecelakaan dapat ditekan. Terkadang kami menemukan, para sopir tidak mengetahui atau tidak memenuhi SOP,” ungkapnya. (Adam Nurmansyah, Asteria Desi Kartikasari, Muhamad Khadafi, Edi Suwiknyo, & Dewi Aminatus Z.)