Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah pakar tata kota di Tanah Air berbeda pendapat terhadap rencana Gubernur Provinsi DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang akan menghapuskan keberadaan Tim Penasihat Arsitektur Kota (TPAK) dalam birokrasi perizinan mendirikan bangunan di wilayahnya.
Beberapa pakar menilai keberadaan TPAK justru harus dioptimalkan, akan tetapi ada juga yang berpendapat keberadaan TPAK secara kelembagaan sarat dengan kepentingan dan menjadi celah terjadinya tindakan KKN dengan pengembang untuk meloloskan perizinan tertentu, sehingga harus dihapuskan.
Pakar Tata Kota Institut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar mengaku sependapat dengan Ahok, sapaan akrab Basuki T. Purnama yang akan menghapuskan TPAK karena keberadaannya cenderung penuh dengan konflik kepentingan alias conflict of interest
“Peran TPAK selama ini tidak sistemik alias tidak berdasarkan aturan, akan tetapi lebih berdasarkan individu yang duduk di kelembagaan tersebut. Saya setuju TPAK dibubarkan,” tuturnya kepada Bisnis.com, Minggu (22/2/2015)
Akan tetapi, sebagai penggantinya, Ahok harus menetapkan peraturan mengenai tata arsitektur yang harus ditaati para pengembang, misalnya untuk daerah atau kawasan tertentu, selain berpegang pada aturan tata ruang dan tata bangunan, juga ada tata arsitektur kota.
“Misalnya kawasan Monas, Sudirman, Thamrin, Senayan, dan lainnya dibuatkan aturan tata arsitektur kota yang jelas dan mendetail, bahkan seperti di Amerika Serikat sampai mengatur warna cat yang harus digunakan di kawasan tertentu, arah atapnya seperti apa, dll,” ujarnya.
Lalu saat pembuatan aturan tersebut, katanya, para ahli tata kota yang ada di TPAK itulah nanti bisa ditugaskan untuk merancang alias merumuskannya.
Jadi, lanjutnya pada prinsipnya apa yang ditetapkan pemerintah harus berdasarkan aturan jelas yang mengikat, bukan rekomendasi individu-individu yang duduk dalam kelembagaan itu.
Menurutnya selama ini banyak pengembang memang merasa dirugikan karena perizinan mereka diperlambat dalam sidang TPAK.
Karena, dalam sidang itu sarat dengan konflik kepentingan antara ahli-ahli yang ada di TPAK, di mana mereka dalam waktu bersamaan juga berpraktik sebagai konsultan. Padahal dalam sebuah sistem kelembagaan tidak boleh ada conflict of interest.
Gambaranannya, ketika ada pengembang menggunakan desain konsultan lain, dan bukan dari individu yang ada dalam TPAK tersebut, maka akan dibantai habis-habisan desain mereka oleh beberapa atau segelintir individu di TPAK yang notabene juga memiliki biro konsultan tersebut.
Selain itu, lanjut Jehansyah, individu alias oknum TPAK ini juga bisa dimanfaatkan menjadi semacam perpanjangan tangan pengembang yang mau meloloskan pengajuan intensitas dan peruntukannya.
Jehansyah mencontohkan, di kawasan tertentu, ketika ada pengembang yang ingin menambah intensitas, koefisien luas bangunan, atau yang lainnya, bisa memanfaatkan individu yang ada di TPAK yang berpengaruh, agar mudah lolos, meskipun sebenarnya secara kajian, hal itu belum tentu lolos.
Jadi, lanjutnya keberadaan TPAK sangat rawan dengan konflik kepentingan dalam sidang TPAK, dan juga sarat konflik kepentingan dalam tata ruang dan koefisien bangunan.
Memang benar untuk urusan teknis, rekomendasi dari ahli sangat penting, tetapi tidak mengikat, cukup dengan gubernur mengeluarkan aturan yang jelas mengenai tata arsitektur kota, melengkapi atiran yang selama ini ada tentang tata ruang kota dan tata bangunan kota.
Sementara itu, menurut Pakar Tata Kota dari Universitas Trisakti Nirwono Yoga menilai bahwa upaya yang akan dilakukan Ahok menghapuskan TPAK justru bisa menjadi langkah kemunduran bagi masa depan tata kota di Jakarta.
Pasalnya, dalam membangun sebuah gedung di suatu kota berarti berbicara tentang pengelolaan tata ruang kota, dan dalam hal ini banyak aspek yang harus dipenuhi dan tidak bisa sembarangan, baik dari sisi tata ruang, keindahan, keamanan, dan lain sebagainya.
“Ini kan bicara pengelolaan gedung di Jakarta. Justru keberadaan TPAK itu harus dimaksimalkan, bukan dihapuskan. Karena dinas atau satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait tidak akan bisa meng-handle itu semua,” tuturnya, Jumat (20/2).
Menurutnya kalau terkait prosedur perizinan secara administrasi silahkan dilakukan di Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP), akan tetapi untuk urusan rekomendasi secara professional yang berkaitan dengan hal teknis, tetap harus dari para ahlinya yang kompeten.
“TPAK itu berisi orang-orang yang berkompeten di bidangnya masing-masing. Selama ini pengembang merasa dipersulit ketika desain dari konsultan mereka ‘dibantai’ oleh TPAK, sehinga proses perizinan mereka menjadi lebih lama,” ujarnya.
Katanya, selama ini banyak konsultan ketika membuat desain bangunan hanya semata menuruti permintaan pengembang yang justru seringkali tidak sesuai dengan kearifan lokal.
“Selama ini memang banyak konsultan yang tidak bisa menjelaskan desain mereka ketika ditanyai TPAK yang memang isinya para ahli dibidangnya, ada ahli arsitektur bangunan, ahli struktur bangunan, ahli instalasi bangunan, dan Jakarta justru akan terbantukan kalau TPAK ini dimaksimalkan,” tuturnya.
Pihaknya juga menyayangkan pernyataan Ahok yang menilai bahwa keberadaan TPAK berpotensi menjadi tempat kongkalikong dengan pengembang. Sementara, TPAK berisi orang-orang kredibel dibidangnya yang tidak akan sembarangan mempertaruhkan nama baik mereka.
“Itu tudingan yang cukup menyakitkan dan sepatutunya Pak Ahok tidak mengeluarkan statement itu. Padahal Jakarta sudah diakui termasuk sebagai kota pelopor dalam arsitektur kota melalui TPAK-nya,” ujarnya.
Selain itu, pada kenyataannya selama ini tidak semua konsultan itu menguasai tentang peraturan yang berlaku. “Mereka hanya membuat desain sesuai permintaan pengembang, namun ketika dihadapan TPAK diminta menjelaskan, mereka kesulitan,” tuturnya.
Dirinya memaparkan TPAK-kan berisi banyak ahli arsitektur, instalasi, maupun struktur bangunan. “Ada 3 disiplin ilmu yang berbeda di sana, sedangkan kenyataan dilapangan bahwa seorang arsitek itu belum tentu memahami aturan instalasi, begitu juga sebaliknya,” ujarnya.
Menurutnya sebaiknya rencana menghapuskan TPAK itu dipertimbangkan kembali, karena justru keberadaan TPAK itu seringksali berani menolak desain-desain yang tidak sesuai dengan Jakarta.
“Kalau dinas terkait seringkali tidak berani menolak, dan TPAK justru berani menolak yang tidak sesuai aturan. Kalau alasan pengembang perizinan diperlama di TPAK, itu disebabkan mereka sendiri yang seringkali konsultannya susah menjelaskan mengenai desainnya. Ini yang dianggap pengembang merasa dipersulit,” tuturnya.