Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mengklaim DKI masih membutuhkan tambahan sekitar 10% dari jumlah mal saat ini yang hanya 76 unit mal untuk mengakomodasi tingkat konsumsi masyarakat Ibu Kota.
Ketua APPBI Handaka Santosa mengatakan tingginya kebutuhan dan tingkat konsumsi masyarakat mendorong pengusaha untuk terus menyediakan fasilitas pemuas minat berbelanja.
Dia menjelaskan paling tidak DKI memiliki 83 mal untuk mencapai titik ideal, kendati harga lahan dan perizinan rumit harus dilewati.
"Menurut saya, masih perlu tambahan 10% lagi. 76 kan jumlah totalnya, ya jadinya 83 mal," ujarnya kepada Bisnis disela acara Council of Asian Shopping Centre (CASC) Conference 2014 di Gandaria City, Jakarta, Kamis (4/12/2014).
Menurutnya, mal yang ada saat ini okupansinya sudah berada pada angka 90%. Dengan naiknya upah minimum provinsi (UMP) dan kenaikan upah pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemprov, katanya, menjadi stimulus penambahan mal karena pola konsumsi akan berubah.
Dia menilai jika dibiarkan, maka pihaknya akan kehilangan pangsa pasar. Hal ini karena masyarakat cenderung akan mencari tempat yang mampu menjawab keinginan berbelanja ke luar negeri.
"Kalau itu tidak kami akomodir, tentunya mereka malahan belanja ke luar negeri, ke Singapura," jelasnya.
Selama kebutuhan belum tertutupi, pihaknya menegaskan akan berusaha untuk tetap menambah mal. Sementara itu, terkait dengan kebijakan Pemprov untuk melakukan moratorium pembangunan pusat belanja, dia menganggap hal itu tak akan menjadi ganjalan.
Menurutnya, kebijakan moratorium mal dimaksudkan untuk menata kota saja. Oleh karena itu, jika pembangunan sesuai dengan peruntukkan lahan, dia mengklaim pembangunan pasti dapat dilanjutkan.
"Kami bisa membangun mal apabila memang peruntukkannya sesuai. Jadi kami tetap jalani selama ada kebutuhan tentunya kami akan buat lagi," lanjutnya.
Seperti diketahui, saat ini terdapat 76 mal. Dengan enam unit di antaranya menyasar masyarakat kelas atas. Sisanya, 69 mal lain bersegmen masyarakat kelas menengah dan bawah. Angka ini terkonsentrasi di wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan Jakarta Barat.